Wednesday, July 15, 2020

Demo Tolak RUU HIP libatkan anak anak berbuntut panjang

Ketua PA 212 Slamet Maarif

Tribunnews NKRI - Persaudaraan Alumni (PA) 212 dan sejumlah organisasi masyarakat (ormas) akan menggelar unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di depan gedung DPR/MPR RI, Kamis (16/7) lusa. Ketua Umum PA 212 Slamet Maarif menegaskan anak-anak tidak ikut dalam aksi ini.

"Sudah diinstruksikan kepada laskar brigadir di lapangan untuk ada area steril sehingga nanti anak-anak tidak akan diperkenankan masuk ke wilayah aksi kita," kata Slamet di gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jalan Kramat Raya No 45, Kramat, Senen, Jakarta Pusat

Slamet menjelaskan tim pengaman aksi akan berupaya semaksimal mungkin bila ada anak-anak yang ikut dalam unjuk rasa ini untuk dipulangkan. "Kita akan dorong mundur kalau ada anak-anak yang hadir dan tidak pakai masker, insyaallah," lanjutnya.

Dia mengklaim ada 174-176 ormas yang akan ikut dalam aksi ini, dengan estimasi massa sekitar 10 ribu orang. Slamet mengungkapkan protokol kesehatan COVID-19 akan dijalankan agar massa tidak berkerumun atau bisa menjaga jarak.

"Insyaallah kalau kawan-kawan sudah terbiasa. Jangankan 10 ribu, sejuta lebih, kita sudah biasa ngatur (massa agar menerapkan protokol COVID-19) itu. Insyaallah semuanya kondusif," terangnya.

Aksi ini dilakukan karena DPR/MPR belum menanggapi maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas di berbagai wilayah secara serius. Slamet mengatakan semuanya akan terus berjuang sampai RUU HIP ini dicabut.
"Sedangkan tanggal 16 (Juli) nanti adalah sidang paripurna untuk penutupan masa sidang DPR/MPR. Nah kesempatan itu pasti akan digunakan DPR/MPR untuk mengambil keputusan-keputusan. Oleh karenanya, kita ingin di rapat paripurna besok, kita akan menuntut agar DPR mencabut atau membatalkan RUU Prolegnas dari Prolegnas," ucap Slamet.
Pemerintah Tegaskan Tunda Pembahasan RUU HIP
Menko Polhukam Mahfud Md menegaskan pemerintah menunda pembahasan RUU HIP. Mahfud mengungkapkan dua alasan pemerintah tegas menunda dan menolak pembahasan RUU usulan DPR ini.
Mahfud menuturkan alasan pertama yakni pemerintah sudah satu suara dengan berbagai organisasi masyarakat bahwa tidak boleh ada peluang untuk meminimalisir Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Di mana Tap MPRS tersebut merupakan sebuah pedoman dalam membuat peraturan mengenai ideologi.
"Karena secara prinsipil pemerintah sepakat dengan suara organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, bahwa tidak boleh ada peluang bagi upaya meminimalisir peran Tap MPRS nomor 25 tahun 66. Artinya bagi pemerintah Tap MPRS nomor 25 tahun 66 itu adalah satu pedoman kalau kita mau membuat peraturan tentang ideologi. Oleh sebab itu, kalau tidak ada itu pemerintah menolak, itu satu," kata Mahfud kepada wartawan, Selasa (7/7/2020).
Alasan berikutnya, dikatakan Mahfud bahwa Pancasila yang sah merupakan Pancasila yang terumus pada 18 Agustus 1945. Selain tanggal tersebut dianggap sebagai sejarah yang tidak perlu dinormakan.
"Yang kedua bagi pemerintah sama pandangannya dengan masyarakat bawah Pancasila itu adalah Pancasila yang disahkan tanggal 18 Agustus, di luar itu adalah sejarah piagam Jakarta, sejarah 1 Juni, sejarah 29 Mei, sejarah 30 Juni, kan semua bicara tentang dasarnya. Itu semua sejarah tidak usah dinormakan. Sudah terumus dengan baik di dalam tanggal 18 Agustus itu dengan segala kesepakatannya," ujarnya.

No comments:

Post a Comment